Kamis, 28 Juni 2012

Catatan Terakhir Agni

Matahari bersemangat menyinari bumi tanpa terlihat adanya tanda-tanda untuk menyurutkan sinarnya. Suasana kota bertambah panas siang itu, bisingnya suara kendaraan tak henti-hentinya berseru. Di sebuah rumah di ujung jalan terdengar keributan yang menambah panasnya suasana.
“Kak, uang itu buat bayar sekolahku dan buat makan kita! Jangan diambil!” teriak Agni.
Kakak Agni tetap memaksa mengambil uang itu. Sambil melotot dia balas memarahi adiknya. “Heh kamu tau? Aku butuh uang ini! Ada urusan sama temen-temenku! Ngerti?!”
“Tapi kak, besok aku bayar pakai uang siapa? Lalu kita makan pakai apa?” Agni menjawab sambil meneteskan air mata.
“Pakai uangmu! Dan cari lagi sendiri!” bentaknya.
Sesaat kemudian, dia keluar membanting pintu dan pergi begitu saja dengan motornya.
Agni masih menangis, dia tidak menyangka kakanya masih saja setega itu kepadanya. Dias, kakak satu-satunnya yang Agni miliki dan satu-satunya keluarga yang Agni miliki. Namun Dias selalu saja memperlakukan Agni dengan kasar. Padahal Dias lah yang seharusnya menjaga Agni.
Agni dan Dias adalah seorang anak yatim piatu. Ibu mereka meninggal setahun setelah melahirkan Agni. Dan ayah mereka meninggal karena kecelakaan. Mereka sudah tidak memiliki kakek ataupun nenek. Sedangkan saudara-saudara lainnya berada jauh dari kota mereka tinggal.
Kepergian ayahnya dua tahun yang lalu tidak lantas membuat Dias sadar bahwa masih ada adik yang menjadi tanggung jawabnya. Dia malah semakin kasar dan semena-mena terhadap adiknya. Sejak ayahnya meninggal itulah, hidup Agni semakin sengsara.

***

Sudah dua hari Agni tidak masuk sekolah. Teman-temannya tidak ada yang tahu mengapa dia tidak masuk. Termasuk sahabatnya, Naya. Sudah dua kali Naya mendatangi rumah Agni namun selalu saja tidak ada orang.
Hari ketiga Naya mendatangi rumah Agni. “Kemana yah Agni, kok rumahnya kosong terus?,” tanya Naya dalam hati. Dia takut terjadi apa-apa terhadap sahabatnya.
Ketika dia akan pulang, di tengah jalan dia berpapasan dengan Agni. Agni terlihat sangat pucat seperti kekurangan makan.
Naya memanggil Agni dengan wajah bahagia setengah haru,“Agni.. Kamu dari mana aja sih? Udah tiga hari kamu nggak masuk sekolah, nggak biasnya kamu kaya gini?”
“Hey Nay.. Aku abis kerja Nay, aku cari uang buat makan. Maaf yah, aku nggak bilang kamu dulu kalo aku nggak masuk,” Agni berusaha menjawab disertai sebuah senyuman.
“Loh bukannya kalo kamu kerja abis pulang sekolah? Kenapa sekarang seharian? Kakakmu ngapain lagi sih?” Naya bertanya dengan nada sedikit marah.
“Kalo aku kerja abis pulang sekolah, hasilnya tuh nggak cukup Nay buat makan. Biasalah Kak Dias.. Dia cuma kuliah, main dan marah-marah. Mmmm...Yah, dia kemarin ngambil uangku. Uang yang buat makan sama buat bayar sekolah.” Wajahnya mulai murung.
“Apa?? Kok kamu biarin sih? Kakamu kok jahat banget, tega banget sama kamu. Harusnya dia sadar kalo kamu butuh dia. Bukan kaya gini. Kasian kamu.”
Agni hanya terdiam dan menundukkan wajahnya. Pikirannya hanya memikirkan kakaknya. Kapan kakaknya akan menyadari kalau dia selama ini begitu sengsara.
“Ni, kamu tenang aja. Aku bakal bantu kamu buat urusan makan. Kamu makan di rumahku aja, biarin kakakmu pulang nggak ada makanan. Kalo dia marah-marah, bilang aja kalo kamu nggak punya duit. Dan buat urusan sekolah besok aku bantuin bilang sama wali kelas, biar kamu dikasih kemudahan. Jadi besok kamu nggak usah kerja dari pagi. Okey?” lanjut Naya dengan wajah antusias.
“Makasih ya Nay. Tapi aku makan di rumah aja, ini udah ada uang kok. Oke deh, besok aku berangkat sekolah,” jawab Agni sedikit senang.
“Ahh kamu itu, pasti nggak mau aku bantu.”
“Hehe.. Aku nggak mau ngrepotin kamu terus. Udah sore, mending pulang aja yuk Nay,” jawab Agni dengan sikap sesantai mungkin.

***

Suatu sore, Agni baru pulang dari bekerja.  Jelas kakaknya belum pulang karena rumah mereka terlihat masih tertutup rapat. Dia langsung membersihkan rumah dan bersiap-siap untuk memasak makanan.
Beberapa waktu kemudian, suara motor Dias terdengar. Agni tidak mempedulikan kakaknya yang baru pulang. Dia masih sibuk memasak. Memang dari sebelum-sebelumnya mereka tidak pernah berbicara satu sama lain kecuali kalau Dias membuat keributan dan memarahi Agni.
Braaaaakkkkk!!!
Tiba-tiba suara gebrakan meja mengagetkan Agni yang berada di dapur. Ternyata Dias memukul meja makan karena melihat belum ada makanan untuknya.
Dias mendekati Agni dan menarik tubuh Agni yang lebih kecil darinya itu. Dia kemudian berseru di depan muka Agni,“Hehh…Dari tadi kemana aja kamu? Jam segini belum ada makanan.  Kamu tau? Aku lapar!”
Agni yang masih kaget dan takut itu menjawab dengan pelan, “Aku tadi kerja dulu kak, ini baru pulang. Maaf ya?”
“Maaf-maaf! Harusnya kamu bisa bagi waktu dan saat aku pulang harus udah ada makanan, tau??!” Dias tidak berhenti memelototi adiknya.
“Iya kak, tapi aku juga sibuk kak. Coba kalau kakak yang kerja aku pasti lebih mudah membagi waktu,” ucapnya.
“Kamu nyuruh aku kerja?! Hahh bodoh!” dengan wajah garang Dias menyentak adiknya. “Udah lanjutin! Nggak usah ngatur-ngatur aku! Aku nggak butuh ceramah dari kamu !” Dias mendorong adiknya kebelakang dan meninggalkannya.
Agni hanya bisa menangis dan menyimpan semua yang dia rasakan dalam hati. Seberapa besar dia menentang, kakaknya tidak pernah berubah. Tidak juga sadar. Agni hanya akan semakin dijahati.

***

Perlakuan Dias yang semena-mena terhadap adiknya itu masih terus berlanjut. Hari berganti hari, minggu berganti minggu dan bulan berganti bulan. Namun tetap saja Dias belum menyadari kelakuannya. Bahkan lebih parahnya, saat ini Dias sudah tidak kuliah lagi. Dia didrop out dari kampusnya karena sering tidak masuk kuliah dan tidak membayar semesteran. Pekerjaannya hanya behura-hura dengan teman-temannya, mabuk-mabukan, berjudi dan  memperlakukan adiknya seperti pembantu.
Agni pun hampir putus dari sekolahnya. Dia tidak sanggup membayar sekolahnya dan dia belum mendapat beasiswa lagi. Padahal dia sudah kelas tiga dan hampir ujian. Untung saja ada donatur yang mau membantu Agni untuk membayar sekolahnya. Namun Agni tetap harus bekerja untuk makan sehari-hari.
Agni tidak lagi memikirkan masa depannya. Dia tidak akan melanjutkan sekolah. Setelah lulus SMA, dia akan mencari pekerjaan yang lebih mapan.

***

Sore itu rumah Agni sedang sepi. Hanya ada Dias, sedangkan Agni sedang bekerja sore. Sebelum-sebelumnya Dias tidak pernah ada di rumah pada sore hari seperti itu, namun sore itu Dias bermaksud untuk mengambil uang yang Agni miliki. Ya seperti biasa, dia akan menggunakan uang itu untuk berhura-hura. Dia tahu kalau adiknya tidak akan memberinya uang jika dia memintanya. Jadi, dia akan mengambil uang itu dengan sembunyi-sembunyi.
Dia mencari-cari uang itu di kamar Agni. Di dalam lemari, di bawah tumpukan baju bahkan di bawah kasur, namun dia tidak menemukannya. Saat dia mencari di meja belajar adiknya itu, dia melihat sesuatu yang membuatnya sedikit terkejut. Ada selembar kertas yang berisi kata-kata yang mengharukan dan beberapa foto mereka dengan ayah mereka. Sejenak Dias melupakan tujuannya disitu.

Mengapa hidupku seperti ini?
Ya Tuhan, mengapa kakakku setega itu?
Apakah dia tahu kalau aku membutuhkannya?
Hanya dia keluargaku, dia yang aku butuhkan selama ini...
Tapi mengapa dia memperlakukanku seperti itu?
Apakah dia membenciku?
Apakah dia menginginkan aku tidak ada di dunia?
Tapi aku adiknya...
Apa salahku?
Aku sama sekali tidak membencinya..
Aku sayang dia, aku sayang kakakku…
Sampai kapan aku harus seperti ini?
Kapan kakakku akan sadar Tuhan???
Aku membutuhkannya…

Beberapa kalimat yang Agni tulis itu membuat hati Dias tidak tenang. Pikirannya tidak karuan. Dia sedikit merasa kalau perbuatannya selama ini benar-benar salah. Dia memang merasa sedikit aneh akhir-akhir ini. Dia merasa ada yang aneh pada Agni, dia merasa sesuatu akan terjadi. Namun kesadaran itu hanya sesaat. Keegoisannya membuat sifat jahatnya datang kembali.
Tiba-tiba, Agni dan Naya sudah berada di ambang pintu. Mereka melihat Dias yang sedang berdiri di dalam kamar. Dias juga melihat Agni dan dia langsung menjatuhkan kertas itu.
Ada kejanggalan yang membuat Agni heran. “Sedang apa kakakku di dalam kamar? Mengapa kamarku berantakan?” tanya Agni dalam hati.
“Kak, kakak lagi ngapain?” Agni bertanya kepada kakaknya.
“Hehh aku lagi nyari uang, aku butuh uang. Dimana kamu simpan uangmu?!” Dias menjawab dengan galak.
“Aku nggak punya uang kak.”
“Ahh bohong kamu! Kamu pasti bohong! Selama ini kamu kerja buat apa? Buat dapetin uang kan?! Cepat kasih uangnya?”
Dia membentak adiknya dengan garang. Dia berusaha mencari-cari dalam tas yang dipakai adiknya. Dia seperti kerasukan setan. Namun tetap saja dia tidak menemukan uang yang dia butuhkan.
Naya yang berada di sebelah Agni tidak tega melihat temannya diperlakukan seperti itu.
“Kak, Agni nggak punya uang. Dia benar-benar nggak punya uang kak,” Naya berkata seraya menjauhkan Agni dari kakaknya.
“Kamu nggak usah ikut-ikut!”
“Mana uangnya??!” teriak Dias pada adiknya.
Agni sudah tidak tahan untuk bersabar,”Nggak ada kak! Kakak tahu aku nggak pernah punya uang simpanan selama kakak seperti ini! Kakak tahu? Aku sengsara kak! Aku sudah seperti orang mati! Kakak nggak pernah mau mengerti! Kakak jahat!” Agni berkata sambil menatap mata kakaknya. Baru kali ini dia tidak merasa takut.
“Aku nggak pernah benci kakak. Aku berusaha buat kakak seneng. Berusaha biar kakak nggak marah sama aku, biar kakak baik sama aku. Tapi apa? Apapun yang aku lakukan, kakak nggak pernah berubah! Kakak selalu seperti itu, memperlakukanku seperti orang lain. Seperti pembantu, bahkan lebih dari itu. Kakak memperlakukanku seperti orang yang hina! Aku udah nggak tahan kaya gini terus. Kapan kakak akan berubah?!” lanjut Agni dengan air mata menetes di pipinya.
Dias terkejut melihat adiknya bisa marah seperti itu. Di satu sisi Dias merasa marah adiknya berkata seperti itu padanya namun di sisi lain dia merasa hal itu benar adanya. Namun sayang sekali Dias tidak berpikir panjang. Sebuah ayunan telapak tangan Dias jatuh di pipi Agni seketika setelah Agni selesai berbicara.
Pllaaaaakkkkk!!!
Tamparan yang keras itu terdengar hingga seluruh ruang. Naya terkaget-kaget melihat hal itu. Sedangkan Agni terdiam melihat mata kakaknya. Mereka berdua masih bertatapan dengan tajam.
Setelah itu Agni langsung berlari keluar dengan sekencang-kencangnya. Dia berlari tanpa arah. Tidak peduli dengan siapapun. Tamparan itu baru pertama kali terjadi meskipun perbuatan kakaknya yang semena-mena sudah lama terjadi. Dia sangat sedih. Sambil berlari tidak hentinya dia menangis.
Naya yang terkejut melihat Agni ikut berlari keluar menyusulnya. Sedangkan Dias baru sadar dirinya benar-benar salah sudah menampar adiknya. Setelah sadar Dias langsung berlari mengejar Agni. Dia merasa sangat bersalah.
Agni yang sedang kebingungan masih berlari tanpa melihat sekitarnya. Dia tidak sadar kalau dia berada di tengah jalan. Saat dia melewati belokan, tiba-tiba ada mobil yang melaju dari arah berlawanan. Mobil itu tidak tahu kalau ada seseorang di tengah jalan. Seketika itu mobil tersebut tidak bisa menghindar dan langsung menabrak Agni. Tubuh Agni terpental ke tepi jalan. Dia masih sadarkan diri tapi tubuhnya sudah berlumuran darah.
Naya yang berlari di belakang Agni melihat kejadian itu dengan sangat takut. Dia langsung berhenti dan tidak berlari lagi. Sedangkan Dias yang dari kejauhan melihat adiknya tertabrak mobil langsung berlari dengan lebih kencang. Hatinya sudah tidak karuan.
Dia melihat adiknya tergeletak tak berdaya. Kemudian meletakkan adiknya itu di pangkuannya. Dia tahu kalau adiknya sudah tidak mungkin dibawa ke Rumah Sakit saat itu juga.
“Adek, kakak di sini dek. Maafin kakak selama ini ya dek? Kakak bener-bener bersalah. Kakak nyesel udah jahat sama kamu dek. Dan sekarang kamu jadi kaya gini,” dengan air mata dia berusaha untuk mengatakan isi hatinya itu. Dia sadar dia sangat bersalah. Dan baru saat itu dia memanggil Agni dengan sebutan adek.
Agni masih menatap kakaknya meskipun tatapan kosong. Dengan sangat lemah dia berkata meskipun hanya beberapa patah kata,”Iya kak. Kakak berubah ya. Sayang kakak.” Dengan sebuah senyum kecil dia menghembuskan nafas terakhir.
“Kakak juga sayang adek.”
Dengan tangisan dan pelukan yang sangat erat dia menemani adiknya ke hembusan nafasnya yang terakhir. Sekarang di dunia ini dia sudah tidak memiliki siapapun. Penyesalan yang sangat besar ada dalam hatinya. Dia kehilangan adiknya yang sangat baik dengan cara yang tragis.

***

Lima tahun kemudian.
Laki-laki dan perempuan itu terlihat sangat akrab kepada anak-anak Panti Asuhan. Laki-laki itu memberikan anak-anak panti itu hadiah. Sedangkan si perempuan melihat laki-laki itu dengan senyuman bahagia.
“Nay, adikku pasti senang kan aku seperti ini sekarang? Andai saja dia disini ya?” katanya dengan wajah setengah bersedih.
“Iya Kak Dias, Agni pasti bahagia. Dia selalu disini Kak, dia di hati kita,” perempuan itu menjawab dengan senyuman yang tulus.

****

Cerpen ini adalah karyaku saat kelas XII untuk memenuhi tugas Bahasa Indonesia
Nice short story right? I always like story about brother and sister.
Obsesi banget pengin punya kakak laki-laki :D


Lelah

Hanya lelah, bukan berarti menyerah.
Baru sadar selama ini saya berjuang sendiri.
Ternyata yang diperjuangkan tidak ikut berjuang juga.
Padahal yang namanya bersama harus bersama-sama.
Saya kira sudah mengerti tanpa dikatakan.
Apalah itu.
Yang saya tahu, sekarang itu bukan untuk saya.
Seharusnya saya sadar dari dulu ya?
Yaa.

Sabtu, 16 Juni 2012

Seperti Itu pun Tidak Apa-Apa

Mungkin, kita berdua akan saling melupa. Hanya sesekali ingat ketika melihat album foto perpisahan angkatan kita atau mendengar lagu yang pernah kita nyanyikan berdua.

Kita menjadi kenangan. Sesuatu yang akan selalu kita rindukan, tapi tentu saja kita tidak akan bisa lagi kembali ke sana, ke masa-masa kebersamaan. Kita seperti menabung rindu, tapi bukan lagi untuk bertemu. Hanya menabungnya saja, karena kita tahu masa lalu sudah bukan lagi tempat kita. Dan celengan rindu itu akan kita pecahkan untuk kita urai kenangannya satu per satu. Tapi masih tidak untuk bertemu, karena kita sudah punya kehidupan sendiri dan harus terus melangkah maju. Ya, seperti itu. Tapi, seperti itu pun tidak apa-apa.

Mungkin juga, kita akan bertemu lagi. Tertawa dan bercanda berdua sambil memandangi senja. Dulu kita melakukannya penuh cinta. Kali kita bertemu lagi ini, kita mungkin akan melakukannya dengan penuh pura-pura tidak pernah terjadi apa-apa di antara kita. Seperti itu pun tidak apa-apa.

Pada satu waktu, mungkin kita akan melihat televisi yang memutar sebuah film, lalu kita berdua bergumam, itu film kita. Dan kita akan menontonnya sampai selesai karena kita menyukainya. Kadang menggerutu karena iklan, kadang tertawa pada adegan yang kita suka, kadang terdiam karena mengingat betapa menyenangkan saat dulu kita menontonnya berdua. Bisa jadi juga saat itu kita menitikkan air mata teringat kenangan-kenangan lama ketika kita menontonnya berdua dan tertawa. Dan sekarang, kita juga menontonnya pada saat yang sama, hanya tempatnya yang berbeda. Seperti itu pun tidak apa-apa.


Bisa jadi juga, kamu akan menemukan bukuku di suatu tempat, membacanya, dan menemukan banyak sekali kamu di sana dengan nama yang berbeda-beda. Dan aku menemukan kekasihmu sedang melakukan tugasnya di tempatku sini, melihatnya, mengamatinya, dan terus berbicara tanpa suara betapa beruntungnya dia. Seperti itu pun tidak apa-apa.


Sebenarnya memang menjadi seperti apa pun, tidak apa-apa. Tapi kalau boleh jujur, aku ingin tidak seperti itu. Aku ingin kita adalah aku dan kamu, di sini, berdua, saling jatuh cinta. Bukan aku dan kamu yang berbeda tempat, bersama orang lainnya masing-masing, dan saling mengenang saja.


Tapi bagaimanapun juga, sepertinya, seperti sekarang ini pun tidak apa-apa. Kita saling peduli, kadang saling menyapa, menanyakan kabar, tapi kita sama-sama menjaga hati agar tidak saling jatuh cinta lagi. Ya. Seperti itu pun tidak apa-apa. :)


Copast from www.namarappuccino.com

Kamis, 14 Juni 2012

It’s better to know and be disappointed than to never know and always wonder
*Thanks God*

Rabu, 13 Juni 2012

Cinta Itu...

 Cinta itu memori
Cinta itu lagu
Cinta itu puisi
Cinta itu tak tergambarkan
Cinta itu memberi 
Cinta itu toleransi
Cinta itu kamu dan aku

Slank-Terlalu Manis (New Version)


Jumat, 08 Juni 2012